Minggu, 31 Juli 2016

HUJAN PERTAMA di RUMAH INI

Hujan pertama di rumah ini kuintip dibalik tirai hijau. Iramanya menderas berkejaran dengan waktu. Sudah pasti anak-anak tak lagi bermain seperti dulu. Hanya ada sepi, gelap dan gemuruh langit yang berusaha menggagahi malam.


Persis dengan hujan yang lalu-lalu. Ketika perseduhan dilakukan diam-diam sambil mengakrabi jemari basah sepanjang lekukan cangkir. Ada kenyamanan yang tak habis terucap bahkan dengan bahasa tubuh.

Betul tak ada keistimewaan selain adalah berupa air yang dinanti setelah membara seolah begitu kejam tertanam. Mencederai pikiran dan tenaga secara sadis.

Tapi hujan pertama di rumah ini menurutku tetap sebuah pembeda. Antara kumpulan-kumpulannya yang selama lima tahun tidak di sini. Mereka mengucuri tempat lain, di sudut yang berbeda jua.

Sepeninggal Hujan, 10 Mei 2016

PELANGI JATUH di LUMBUNG HATI


Setiap desir angin seperti tak cukup mengisyaratkan bahwa keberadaanmu masih terjangkau oleh penglihatan dan pendengaranku. Dengan malu-malu daun pun berjalan selayak kepiting di atas pasir pantai. Yang kutahu, ia selalu enggan berhenti. Membuntuti siluet kakimu, sampai di mana entah.

Tiba-tiba kubangan air pengganti cermin kian melebar. Ah, rupanya hujan perlahan menerjunkan diri dan berkumpul di sana. Sebab itulah aku sadar, bahwa sebenarnya kau telah pergi. Tanpa berpesan pada bayangmu untuk tetap tinggal.

Cukup lama aku terdiam, hingga senja pun seolah kuatur sedemikian rapi agar lebih baik datang nanti saja. Ya, karena aku sedang teramat sibuk menata pelangi yang jatuh singgah di lumbung hati, tak pula permisi. Setidaknya ia menjadi warna-warna tiada terduga.

Meski malam kini beranjak naik, aku tetap mengemas kepergianmu yang disusul hujan itu dalam tumpukan pelangi. Satu per satu memberi pemahaman. Bahwa kau adalah senantiasa merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

Cerita, 12 Mei 2016